Search something?

Rabu, 30 April 2014

Ini Dufan Kami: Petualangan Yang Belum Tamat

Suatu siang pada saat jam istirahat, dua puluh tahun yang lalu, aku dan teman-teman sekelas mengobrol tentang rencana liburan. Sebuah obrolan yang dari meluncur dari mulut anak-anak kelas 2 di sekolah dasar. Yosep, seorang temanku yang berasal dari Jakarta, bercerita tentang pengalamannya di Dufan. Waktu itu, sebagai anak yang sejak dalam kandungan tinggal di kota Blitar, aku tak pernah dengar apa itu Dufan. Dengan keyakinan bulat dan tulus, Yosep berucap bahwa liburan di Dufan itu sangat menyenangkan. It is so much fun, a never ending fun. Yes, that was what he said to me and my classmates.

Sampai di rumah, buru-buru aku bertanya kepada ibuku.

Aku: 'Buk, pernah ke Jakarta? Pernah ke Dufan?'
Ibu: 'Ooo Dufan itu Dunia Fantasi. Di sana ada banyak permainan. Bisa naik-naik, gitu. Trus ada Istana Boneka. Banyak boneka, bisa gerak-gerak.'
Aku: 'Wah, bagus yaa? Kapan aku bisa ke sana? Temanku sudah ke sana...'



Istana Boneka Dufan
(Boneka bisa bergerak, begitu kata ibuku.)




Aku pun berkhayal. Dunia anak memang dunia khayal. Mendengar kata fantasi, aku berangan-angan bahwa Dunia Fantasi itu penuh dengan alat-alat permainan yang canggih, lampu berwarna-warni menyala, dan tentu saja banyak tantangan di mana anak-anak bisa mendapat hadiah kalau memenangkan tantangan itu. Itulah sebuah dunia fantasi yang aku mimpikan dua puluh tahun yang lalu.

Waktu itu belum ada internet. Buku, majalah, atau koran pun belum banyak mengisahkan tentang Dunia Fantasi dan pengalaman wisata. Aku yang masih berusia 7 tahun, hanya berharap, suatu ketika, bisa segera bermain-main di Dunia Fantasi, di Dufan.


Dua tahun berikutnya, di sanalah aku berada. Aku di Dunia Fantasi, Jakarta!

Bukan hanya aku, tapi juga ibuku, bapakku, kakakku, kakekku, pamanku, bibiku, adik-adik sepupuku, dan beberapa saudara yang lain. Kami semua piknik keluarga bersama ke Jakarta. Dunia Fantasi adalah tujuan kami. Yaa, inilah Dufan kami.


Ini Dufan Kami
(Sejak kecil mengunjungi Dufan, seperti tradisi keluarga)


Bianglala. Kami semua berbondong-bondong naik ke kincir raksasa. Kami bergitu bersemangat menikmati permainan pertama ini. Meskipun takut ketinggian, aku terus terpana. Betapa tingginya kincir ini membawa kami ke atas dan berputar. Kotak kaca menjadi pelindung kami dari tiupan angin, sekaligus mengizinkan kami untuk menatap pemandangan gedung-gedung Jakarta yang tampak bagai miniatur. Walau sejenak berada di kincir raksasa ini karena kami harus bergantian dengan para pengunjung yang lain, tapi pengalaman ini selalu teringat. It is a memorable experience I've ever had, and the excited feeling lasts forever. It is a never ending fun.

Aku dan seluruh keluarga beranjak menuju wahan berikutnya. Kami bingung menentukan permainan yang mana. Dunia Fantasi ini amat luas. Kami yang terbiasa hidup di kota kecil merasa kagum dengan kemegahannya. Saat sedang berjalan itulah, salah seorang dari kakekku merasa pusing. Usut punya usut, ternyata pada masa mudanya dahulu, kakekku pernah mengalami benturan di kepala. Hal inilah yang membuatnya merasa pusing jika setelah berputar-putar dengan naik Bianglala. Di sinilah aku mengerti sejarah keluarga besarku. Dengan rekreasi ke Dufan, aku semakin mengenal keluarga besarku. Ini Dufan kami, yang membuat kami memahami pengalaman hidup masa lampau.


Tahun 2010 saat 25 tahun Dufan



Kemudian, kami berpisah-pisah. Para orang-orang tua menyatu dan memilih permainan dengan tingkat tantangan rendah. Aku dan segerombolan sepupu yang berusia antara 10-12 tahun menjelajah lapangnya area Dufan. Ibuku menjadi mama bagi geng kami. Sebagai seorang yang punya hobi pelesir, ibuku setia mengikuti kemanapun gerombolan si kecil ini melangkah.

Kami berseru dan berteriak saat naik perahu ayun yang disebut Kora-kora. Makin kencang ayunan kereta itu, makin keras pula jeritan gembira kami. Kemudian kami menunggang kuda yang penuh hiasan dan cahaya. Kuda itu berputar-putar secara serempak dan serentak. Yaa, kami naik komedi putar yang dinamakan Turangga-rangga. Tak berapa lama, kami sudah berbasah-basah ria di lokasi Arung Jeram. Air yang menyiram badan kami telah berhasil menambah senangnya hati kami. Yes, I was really glad. It was a memorable experience that I remember from the first until now. It feels like a never ending fun.

Kami melanjutkan petualangan. Dua saudaraku laki-laki membuktikan keberaniannya dengan mengantre di deretan Halilintar. Aku dan ibuku tidak punya nyali untuk mengikuti mereka, maka kami pun menunggu sambil berharap semoga mereka berdua tidak menangis waktu Halilintar mulai menderu-deru. Ternyata, apa yang kami kawatirkan tidak terjadi! Kedua saudara laki-lakiku itu justru ketagihan. Untuk kedua kalinya mereka berbaris rapi di wahana Halilintar. Aah, memang kalian pemberani!


Never Ending Fun in Dufan


Lima tahun berikutnya. Aku masih belum berani mencoba naik Halilintar, pada kunjunganku ke Dunia Fantasi yang kedua kalinya. Kali ini, aku pergi ke Dufan bersama ibuku dan satu adik sepupuku. Aku sudah tumbuh besar menjadi seorang remaja putri yang banyak digandrungi para pemuda harapan bangsa. Kami bertiga datang dari Blitar, sebuah kota kecil yang dijuluki kota patria. Datang untuk bermain-main di Dunia Fantasi Jakarta.

Sedikit berbeda dengan perjalanan pertama kami di Dufan, kali ini ada yang berbalik. Bukan ibuku yang menyertai aku dan adik sepupu memilih permainan, tapi aku dan adik sepupukulah yang mengekor ibuku. Nyatanya, wahana permainan pilihan ibu juga terasa seru!

Hanya ada satu wahana yang membuat ibuku menunggu. Aku sedikit memohon supaya bisa naik kereta di atas air. Bukan Arung Jeram, tapi Niagara. Mirip dengan air terjun Niagara, wahana ini mengajak para penunmpangnya untuk terjun dan mengalami sensasi cipratan air dari sisi-sisinya. Mengapa aku ngotot mencoba Niagara? Karena pada kunjungan sebelumnya, aku hampir muntah saat naik kereta Niagara ini. Dan kali ini aku sukses! Aku bisa mengendalikan diri dan keluar arena Niagara dengan sehat sentosa.

Perjalanan berlanjut, kami bertiga masuk ke Rumah Miring. Dan aku pun langsung teringat pada kejadian jenaka yang menimpa adik sepupuku beberapa tahun sebelumnya. Sewaktu berusia kanak-kanak, adik sepupuku itu dan orang tuanya rekreasi di Dufan. Mereka memasuki Rumah Miring yang cahayanya redup dan miring 45 derajat itu. Lalu muncullah sebuah kalimat fenomenal dari mulut adik sepupuku itu.

'Buk, ini rumahnya siapa tho? Koq jelek begini? Miring-miring?'


Rumah Miring Dufan
(Ini rumahnya siapa? Miring-miring? Begitu tanya adik sepupuku.)


Ucapan polos yang mengundang tawa. Tawa sebagai ungkapan jawab atas pertanyaan tak terkira. Pertanyaan serius bagi seorang anak kecil, namun berubah menjadi kalimat kocak bagi orang-orang dewasa. Saat inipun, aku tertawa geli sambil menuliskan peristiwa itu. Lucu! A memorable experience that cheers up my mind. That experience.

Yaa, memang ini Dufan kami. Dufan yang memunculkan tawa. Dufan yang menantang keberanian. Dufan yang mendorong penduduk di kota kecil untuk mendatanginya berkali-kali.


Dufan bukan hanya tentang wahana permainan, tapi juga tentang lapangan parkir. Ketika itu matahari sudah terbenam, itu pertanda nyata bagi aku, ibuku, dan adik sepupuku untuk meninggalkan Dufan. Pukul tujuh malam, begitu pamanku berjanji menjemput kami. Meskipun sudah remaja, tapi aku baru dua kali mengunjungi Dunia Fantasi sehingga tidak tahu di mana letak parkiran mobil.

Dengan kecemasan yang disembunyikan, aku pun melangkah di samping ibuku. Ibuku, seseorang yang penuh percaya diri dan tangguh, tanpa ragu mencari-cari pintu keluar. Ibuku melihat dengan teliti ke samping, ke depan, ke belakang. Cukup beberapa menit, ibuku mendapati adiknya yang ku panggil paman. Menit itu ku rasakan sebagai keajaiban. Aku merasa pamanku muncul begitu saja, tepat di hadapan kami. Hmm...in addition to its never ending fun, Dufan is a never ending miracle. It fits to its name: Dunia Fantasi. Miracle does in a fantasy world.


Seratus orang generasi muda bangsa berkunjung ke Dufan


Keajaiban berikutnya aku alami sepuluh tahun sesudah kunjunganku yang pertama di Dunia Fantasi. Tanpa pernah terduga, dua buah bus wisata berisi seratus pemuda-pemudi memasuki lapangan parkir Dunia Fantasi. Yaa, aku ada di antara seratus orang generasi harapan bangsa itu. Aku dan teman-teman dari seantero nusantara diberi kesempatan untuk mencicipi kedashyatan Dunia Fantasi. Terpilihlah kami, beruntunglah kami.

Banyak di antara kami yang belum pernah menginjakkan kaki di Dunia Fantasi. Berkat keajaiban saat itu, puluhan anak muda dari Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera akhirnya berhasil membuat heboh kawasan Dunia Fantasi. Dunia yang bertahun-tahun hanya melayang dalam fantasi, akhirnya bisa diwujudkan.

Sekalipun harus menunggu satu jam hingga pengurusan tiket beres. Sekalipun ada salah satu dari kami yang sandalnya rusak. Sekalipun waktu yang tersedia sangat singkat. Namun semuanya itu tak mengurangi semangat kami untuk secepatnya bersenang-senang di Dunia Fantasi.

Kicir-kicir menjadi wahana favorit kami. Hampir semua dari kami, hampir seratus orang, menjajal serunya berputar 360 derajat di udara. Kami penasaran seperti apakah terbalik, melintir, dan meluncur. Kami berteriak. Kami tertawa. Kami tersenyum. Kami menutup mata. Kami berpegangan erat-erat. Kami takut. Kami cemas. Kami senang. Kami bahagia. Kami jatuh cinta.

Ini Dufan kami. Yaa! Tak dapat diucapkan dengan kata-kata. Tak bisa diungkapkan dengan tulisan. Gambar-gambar ini mewakili ekspresi kami. It is superb! A never ending fun and a memorable experience as well.





Memorable experience in Dufan



Kicir-kicir ini menjadi wahana pertama yang aku naiki saat berkunjung ke Dunia Fantasi empat tahun yang lalu. Itulah kunjunganku yang keempat di Dufan. Horeee! Tiap kali berlibur ke Jakarta, aku memang selalu menyempatkan diri bertualang di Dufan. Rekreasi serombongan dengan keluarga besar pada kunjungan pertama di Dufan. Lalu, bertiga menjelajah Dufan pada kunjungan kedua. Selanjutnya bersama seratus generasi muda bangsa bermain-main di arena Dufan. Dan akhirnya, berdua dengan seorang sahabat mengeksplorasi Dufan.

Serentetan peristiwa menarik mengiringi perjalananku yang keempat ini. Sebelum berangkat ke Dufan, aku ada janji bertemu seorang kenalan yang ternyata adalah adik dari seorang pelawak ngetop Indonesia. Dan pada kesempatan itu juga, sang pelawak yang bernama Tenny itu menitipkan selembar foto dirinya untuk diberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan. Aah, terima kasih Mbak Tenny!

Kemudian, di kala menanti giliran untuk mencoba Hysteria, tanpa pernah terbayangkan, aku bertemu Pak Tarno. Pak Tarno pesulap itu bersama seorang pembawa acara hadir untuk menghibur para pengunjung yang sedang antre. Hanya sekejab saja. Namun itu menjadi pengalaman tak terlupakan karena acara hiburan itu didokumentasikan untuk ditayangkan di sebuah acara televisi.

Yang tak terduga, ada aku yang sedang asyik menyaksikan sulap Pak Tarno muncul dalam acara televisi itu. Waktu menonton acara itu di rumah, aku pun berteriak histeris senang. Aah, rupanya aku bisa juga tampil di televisi meski hanya sekejab. Apa yang dulu hanya sebuah fantasi, kini bisa menjadi kenyataan.

Menjelang pulang, aku dan sahabatku menyempatkan diri menonton syuting sebuah sinetron yang berlokasi di Dunia Fantasi. Ada Shireen Sungkar di sana. Hmmm...kunjungan keempat ke Dufan benar-benar seru. Aku bisa ketemu beberapa selebritis. Aku tak sengaja kamera televisi selama 60 detik.


Syuting sinetron di Dufan



Dan yang paling seru adalah, aku berhasil mencoba semua wahana di Dufan. Yaa, setelah empat kali berkunjung, akhirnya aku bisa menamatkan petualanganku di Dunia Fantasi ini. Ada tiga wahana yang aku naiki untuk pertama kalinya.

Satu, Halilintar yang aku takutkan, telah berhasil aku taklukkan. Dengan modal keberanian dan kepercayaan diri, aku membiarkan diriku dibalik, dihempaskan, dan dilepaskan dari ketakutan. Aku membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa mengatasi kungkungan rasa takut itu.

Dua, Tornado yang selalu heboh dengan jeritan itu juga aku coba untuk pertama kalinya. Rasa cemas dan dag dig dug menyergapku begitu aku duduk di kursinya. Angin tornado yang hebat sudah aku alami dengan hati senang sebab aku yakin Tornado di Dufan ini aman tenteram.

Tiga, Hysteria yang merupakan wahana baru saat itu melengkapi petualanganku di Dunia Fantasi. Sensasi diangkat ke atas sungguh mendebarkan. Memang aku tidak sempat berteriak karena sejak awal aku menutup mata supaya tidak melihat ke bawah, Melihat ke bawah dari tempat setinggi itu bisa membuat badanku bergetar hebat.


Pertunjukkan Kalila Dufan



Empat kunjungan ke Dunia Fantasi sudah ku lalui. Empat tahun telah terlewatkan dalam hidupku sejak kunjungan yang terakhir. Petulangan yang ku anggap tamat karena semua wahana Dunia Fantasi sudah aku coba per tahun 2010, ternyata masih terus berlanjut.

Dunia Fantasi tak pernah kehilangan ide untuk memanjakan pengunjungnya. Ada simulator Happy Feet yang bercerita tentang komunitas penguin di Antartika. Ada Treasure Land Temple of Fire menampilkan adegan seoran arkeolog sedang mencari artefak kuno di Mesir. Ada Ice Age yang menawarkan perjalanan melintasi hutan belantara, gunung berapi dan gunung es mencair.

Aku selalu ingin berkunjung ke Dufan. Aku ingin mencoba apa yang berlum pernah aku coba. Aku masih ingin menonton Kalila. Aku ingin menyetir dengan mulus di Baku Toki. Aku ingin menerobos pepohonan dengan kereta layang alap-alap. Aku ingin terbang tinggi seperti Rajawali. Aku ingin berputar-putar dengan Gajah Bledug.

Yaa, ini Dufanku. Ini Dufan kita. Ini Dufan kami. If you visit Dufan, just do fun, because it's so much fun. Dufan is a never ending fun. You will have a memorable experience.


Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Penulisan Blog: INI DUFAN KAMI.

Ini Dufan Kami

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Your narrative is very very inspiring for those who read it. Ur narrative content elucidates others to spend time enjoying the beauty n fun of Dufan.
Next, your diction n sentence choice are so much proper that your narrative is nice to read. Ur way of narrating shows your writing talent. If u have read Style, ten lessons in clarity n grace by William, Joseph (2003) n Daybook of critical reading n writing by Claggett, Fran cs (1998), ur narrative would be much more appealing. Develop your writing talent ya. Bonne chance.

Anonim mengatakan...

yg ntn shireen itu kita bukan ya tik ? hahhaha my brain have an eraser. It's hard for me to remember anything

Kartika Paramita Klara mengatakan...

Untuk Bapak:
Halo, Bapak! Iyaa dong, bagus tulisan ini, kan ikutan Bapak. Nanti baca buku di rumah saja yaa. Di sini aku kebanykan kerja & kuliah, heu heu...

Kartika Paramita Klara mengatakan...

Buat Uchie:
Heheee... Iyaa Chi, itu kita pas ada di sana, nonton Shireen lagi syuting. Pokoknya hari itu ada syuting Pak Tarno & Shireen. Trus pagi, sebelum berangkat ke Dufan, ada adik dari pelawak Tenny yang ke rumahmu buat ambil titipan barang.