Search something?

Selasa, 10 Februari 2015

Voluntourism di Biak, Papua

Hari ini, sepuluh Februari dua ribu empat belas, satu tahun silam, aku sedang bertandang di sebuah ruang yang dindingnya terang benderang. Warna-warni kuning, biru merah khas klub sepakbola Barcelona, terpampang indah mempesona. Di sanalah anak-anak berhimpun dalam dua rumpun kecil. Tak ada yang melamun, semua tekun menyusun balok-balok. Mereka berkompetisi merangkai balok-balok makin tinggi dan serasi agar sesuai ilustrasi.

Rumpun pertama selesai, berteriak ramai merayakan keunggulan. Rumpun kedua belum usai, tapi tak peduli, mereka tetap bergerak. Anak-anak bersorak suka hati, memberi motivasi. Tersisa beberapa balok lagi. Prak! Balok terbanting. Sedetik mereka bergeming. Sedetik kemudian, senyum sudah tersungging. Walau kecewa karena tak bisa menuntaskan tugas, anak-anak itu tetap antusias. Mereka bergegas mengemasi balok-balok itu.


'Kak, hari ini kita belajar apa?' Tanya salah satu anak.
'Lihat nih! Coba tebak, kakak bawa apa?' Tanyaku kepada mereka.
'Surat!'
'Amplop!'
'Kartu!'
'Aku tahu kak. Itu kartupos, kan?'

Aku tersenyum. Hari itu aku membawa setumpuk kartupos. Kartupos dengan empat ragam gambar. Ada tas noken, papeda dengan sayur ikan kuning, tari adat, dan rumah adat Papua. Semua bernuansa Papua. Aku mengajak anak-anak di Biak, Papua, untuk mengenal surat-menyurat melalui kartupos.



Mereka semua, baik yang masih TK, SD, ataupun SMP mendapat kesempatan belajar menulis pesan-pesan di sisi belakang kartupos. Ada pesan untuk orang tua, untuk teman, juga untuk kakak-kakak volunteer BUP yang menjadi pengajar dan yang menjadi penggalang buku. Awalnya mereka malu dan ragu menuliskannya. Mungkin karena belum terbiasa. Namun, lama-lama mereka menjadi lugas. Kata-kata berbahasa Inggris pun terselip di antara kalimat-kalimat bahasa Indonesia.

Tak hanya menulis, tapi mereka juga berlatih membaca dan berbicara bahasa Inggris. Dengan bahasa Inggris, mereka menyapaku dan mengucapkan salam. Dengan bahasa Inggris, mereka menyebutkan gambar-gambar apa saja yang ada dalam kartupos. Satu peristiwa yang membuatku terkesima adalah saat mereka berdoa dalam bahasa Inggris. Inilah ungkapan jiwa nan tulus dari anak-anak yang kudus.




Setahun lalu selama delapan hari aku memang berada di sana. The Spice Journey (Jelajah Rempah) mengirimku ke Biak, Papua dengan sebuah misi. Misi yang mereka sebut voluntourism. Volunteer, aku mengerti. Tourism, aku pun paham. Voluntourism, berarti paduan antara volunteer dan tourism. Menjadi relawan dan turis sekaligus. Begitu batinku waktu itu. Istilah yang tak mudah bagiku, baik terjemahan dan definisi maupun pelaksanaannya. Namun syukurlah, Mas Endro, sebagai pendiri The Spice Journey, sungguh-sungguh mewadahi dan mengilhami.

Saat itu Mas Endro sedang aktif bersuara tentang isu voluntourism. Aku pun ikut larut dalam gelora bara voluntourism. Rencana mulai ku tata senada dengan arahan yang diberikan Mas Endro. Ku baca dengan cermat agar tak ada yang terlewat. Dengan hati-hati dan rapi, ku rumuskan rencana voluntourism di Biak, Papua.

WHAT, tentang target kuantitatif dan kualitatif dari kegiatan voluntourism. WHY, tentang latar belakang masalah dari kegiatan voluntourism. WHERE, tentang alasan memilih lokasi untuk kegiatan voluntourism. WHEN, tentang waktu paling tepat untuk melakukan kegiatan voluntourism. WHO, tentang untuk siapa kegiatan voluntourism ini bermanfaat dan tentang siapa saja pihak yang diajak bekerja sama. HOW, tentang bagaimana cara kegiatan voluntourism dilaksanakan.



Tak mau berlambat, aku pun beraksi dengan cepat. Saat itu aku sedang kuliah di Taiwan, sedangkan kurang dari satu bulan aku akan berangkat ke Biak, Papua untuk melaksanakan voluntourism. Sadar akan jarak yang lebar, aku pun segera menelusuri informasi dan mengembangkan jaringan. Melalui media sosial, aku pun mengenal Buku Untuk Papua (BUP).

BUP adalah sebuah komunitas bagi pribadi-pribadi yang peduli pada pendidikan di Papua. BUP menerima tawaranku dengan sukacita. Mereka menjelaskan visi, misi dan program-program BUP. Aku pun memaparkan rencanaku untuk mengajar anak-anak dan memberi kontribusi berupa buku-buku pengetahuan. Aku berharap, buku-buku ini bisa menambah koleksi di rumah baca BUP di Biak, Papua.

Melalui komunikasi di media sosial, aku menjadi mengerti bahwa anak-anak yang ada di rumah baca BUP Biak, Papua perlu stimulasi dan motivasi untuk berani belajar. Belajar membaca, menulis, berhitung, berbicara, dan berorganisasi. Mereka punya niat, namun sering lenyap bila melihat ada teman yang lebih hebat. Oleh karena itulah, muncul ide membuat kartupos untuk mendorong mereka menulis serta memilih buku-buku yang menarik minat mereka untuk membacanya.


Berbekal wawasan dari Mas Eko dan dukungan dari BUP, aku pun berangkat dengan mantap ke Biak, Papua. Meski seorang diri, aku percaya diri dengan misi voluntourism ini. Dari delapan hari yang ku nikmati di Biak, aku membagi tiga hari menjadi volunteer di rumah baca BUP dan lima hari mengunjungi tempat-tempat wisata dan budaya.

Aku bersyukur menjadi volunteer di BUP dan bekerja sama dengan orang-orang spesial. Bapa Pendeta Rudy Sambow bertanggung jawab atas rumah baca BUP di Biak, Papua. Beliau memberikan pelayanan istimewa bagi anak-anak yang belajar di rumah baca dan para volunteer. Beliau juga memastikan aku mendapatkan akomodasi yang layak selama melakukan voluntourism di sana. Bapa Pendeta Rudy memperkenalkan aku dengan relawan-relawan BUP Biak. Relawan-relawan inilah yang menentukan berjalannya kegiatan-kegiatan BUP Biak. Beliau pun sempat menemaniku berkeliling kota Biak sembari menjelaskan sejarah dan peristiwa-peristiwa muthakhir yang terjadi.



Ketika berkelana di Biak, aku memprioritaskan transportasi umum, mendatangi pasar-pasar tradisional dan pedagang-pedagan kaki lima. Di sanalah aku membeli oleh-oleh atau keperluan sehari-hari. Mungkin cara ini dapat membantu perkembangan usaha ekonomi kecil dan menengah di Biak, Papua. Selain itu, hal yang aku sukai adalah aku bisa berbincang panjang dengan para penjual. Saling berbagi tntang hidup mereka dan hidupku.

Saat di lokasi wisata, aku berupaya membaur dengan masyarakat yang sedang ada di sana. Anak-anak kecil sering kali mengerumuniku untuk mengobrol dan meminta foto. Ah, lucunya. Mereka juga bertanya apa saja dan tidak segan-segan memotretku dengan kameraku. Mata mereka lebih jeli untuk mendeteksi posisi yang tampak cantik. Pantai, air terjun, taman, monumen, bahkan tugu Injil khas Papua sudah ku jelajahi dalam empat hari itu.



Pengalaman melakukan voluntourism di Biak, Papua mengajariku dua hal. Pertama, sebuah perjalanan wisata hendaknya memberi manfaat bagi alam, masyarakat lokal dan sang pejalan itu sendiri. Kedua, voluntourism adalah perihal membangun jejaring dan memeliharanya untuk menjawabi persoalan yang terjadi.

Ada dua motto yang aku ciptakan dalam rangka voluntourism di Biak, Papua.

"Voluntourism: saat keanggunan wisata Biak, Papua
melebur dengan semangat belajar anak-anak."

"Kami menanam dan menebarkan pengetahuan di Papua."

Semoga, engkau dan aku bisa saling bekerjasama dalam kegiatan voluntourism.


Tidak ada komentar: