Ibuku mengerti bahwa aku mudah saja merasa betah di suatu
tempat. Entah tempat baru, entah tempat lama. Jarang aku terburu-buru ingin
beranjak. Tinggallah dulu sejenak, begitu kata hatiku. Seringkali perjalanan
pulang ku lalui seorang diri. Tidak mengapa bagiku, karena aku menikmatinya.
Selama
tiga tahun, menjelang jam 2 siang di sela cahaya sang surya yang memancar di
balik pohon. Di sanalah aku berdiri mengharapkan datangnya sebuah kerangka
besi. Kerangka besi kokoh yang sanggup mengantarkanku dari sekolah menuju
pangkalan becak. Itulah yang disebut angkutan kota, angkot. Angkot di Blitar.
Tapi aku dan orang-orang di sekitarku menamakannya kol. Yaa, setiap hari saat
pulang kerja aku selalu naik kol. Mungkin ini pelesetan dari kata colt. Colt ada
sebuah merk mobil. Memang angkot di kotaku mempunyai kerangka mirip colt.
Ada
kol merah, biru, hitam, hijau. Hijau namun tidak gampang meletus layaknya
balon. Sekian pasang mata berdecak melihatku naik kol. Bukan decak kagum.
Aku kira itu adalah decak prihatin. Dalam benak mereka, mungkin muncul
pertanyaan seperti ini. Pertanyaan tipe esai, dan bukan pilihan ganda.
'Mengapa pemudi ini
harus naik kol, dan bukan naik sepeda motor?'
dan 'Kapan pemudi ini berani belajar mengendari sepeda motor?' atau 'Pemudi
ini semestinya bisa naik sepeda motor lalu membonceng ibunya, sehingga tidak
menyusahkan diri naik kol, dan bahkan bisa menabung lebih banyak.' bahkan
pula 'Di manakah pemuda yang menjemput pemudi ini?' Aah, ku harap ini
bukan kau yang bertanya.
Bagaimanakah
akan ku sampaikan pembelaanku? Ku anggap itu tak perlu. Jiwaku bersorak kala
kaki menuntunku menuju rumah. Menunggu kol kadang terasa membosankan. Menit
demi menit berlalu, kol tak kunjung tiba. Namun ada kalanya, kol lewat begitu
cepat di hadapanku. Mengeluh? Tidak. Aku terus bersyukur dan memohon hadirnya
kol untuk membawaku pulang. Aku mengenalnya. Aku mengenal sopir-sopirnya, dan
kenek-keneknya. Aku mengenal para penumpang yang hampir selalu sama tiap hari.
Mereka juga mengenaliku. Kami ngobrol bagai kawan dengan kawan. Obrolan ringan
tentang peristiwa terhangat hari itu. Juga obrolan serius mengenai tingkah
polah pemimpin di negeri ini. Atau pun obrolan yang berisi makna kehidupan.
Mereka senang karena menggenggam rupiah. Rupiah untuk dibagikan dengan bos,
keluarga, juga untuk kebutuhan pribadi. Jalan yang mereka tempuh tidaklah
mudah.
Ada
kalanya aku naik kol berdua dengan ibuku. Tempat kerja kami berada di kompleks
lokasi yang sama. Jika bapakku tidak bisa menjemput ibuku, maka dengan gembira
aku menjelajahi perjalanan pulang bersama ibuku.
Dari
sisi kiri jendela kol, aku mencuri pandang ke arah kenek yang sibuk menghitung
rupiah. Juga ku pandang bapak sopir yang berkonsentrasi menghadapai lalu lintas
kota Blitar. Aku tersenyum. Terima kasih kalian telah membawaku pulang dengan
aman menuju pangkalan becak.
Waktunya bercengkerama dengan bapak pengayuh becak. Tukang becak. Aku mengenal sebagian besar di antara mereka. Tiap hari aku selalu menggunakan jasanya. Beberapa ribu rupiah ku pindahkan dari dompet ke tangan mereka. Tak berbeda dengan sopir kol dan keneknya, tukang becak ini harus bertahan dengan persaingan ketat. Kisah perjuangan mereka yang beragam menghilangkan rasa jenuhku.
Patut ku banggakan perjalanan pulang naik becak. Becak sudah tidak eksis di kota-kota besar. Bahkan, becak menjadi atraksi wisata yang khusus karena ia makin langka. Tapi di sini, aku bisa menikmatinya, setiap hari, kecuali saat libur kerja. Becak yang tak berjendala ini menyebabkan kulitku disentuh udara yang bergerak lembut. Sering aku dibuatnya tertidur dalam perjalanan pulang yang singkat ini. Badanku lelah usai bekerja, perutpun lapar. Maka jadilah, mataku terpejam lelap denan belaian angin. Kepalaku mengangguk-angguk. Bukan tanda setuju, tapi isyarat mengantuk.
Tukang becak mengayuh dengan sempurna. Ia hafal di mana harus menghentikan aku. Biasanya aku menoleh ke kiri sebelum turun. Dari sisi kiri becak ini, aku menghembuskan nafas. Lega. Aku tiba di depan rumah. Aku pulang.
Perjalanan pulang dengan kol dan becak itulah yang membentuk pribadiku. Aku terbiasa memilih transportasi umum. Sikap peduli pada lingkungan menjadi terasah. Terutama, aku bisa menjadi gigih saat menjalani berbagai perjalananan. Entah perjalanan karena pekerjaan, acara keluarga, aktivitas sosial, ataupun karena hobi pelesirku yang selalu menggelora. Tidak ada yang mengira, aku pun juga tidak.
Suatu kali, jam 9 malam pada pertengahan bulan Juni, hujan mengguyur Jakarta hingga membuatnya sejuk. Tidak ada kol, tidak ada becak di sini. Tidak ku kenal pula jalanan ibukota, baik arah mata angin ataupun rutenya. Aku harus pulang, pulang ke rumah seorang sahabat. Namanya Uchie. Aku menginap di rumahnya selama pelesiran di kota nomor satu se-Indonesia ini. Waktu itu aku datang dari Bogor, berkereta api. Sesuai petunjuk Uchie, maka aku pilih bajaj dari stasiun yang kecil ini. Aku mengiyakan tawaran sopir bajaj. Kami bersepakat di angka 10.000 rupiah. Was-was! Tapi aku pun juga percaya diri. Percaya bisa pulang tanpa tersesat.
Pertama kali pulang naik bajaj. Malam hari, hujan deras, dan tak mengerti tujuan. Meski sudah 3 hari aku berkeliling Jakarta, namun masih saja sulit bagiku untuk mengingat arah-arahnya. Sambil mengenok ke spion, aku berusaha keras membayangkan ke mana aku harus menuju. Sekilas, aku yakin ini jalan pulang yang benar. Lega. Lampu merah berganti hijau. Ini tandanya sebentar lagi aku akan sampai. Tinggal lurus saja, dan akan ku capai rumah Uchie. Oh, ternyata sopir bajaj menikung ke kiri. Sebuah jalan sempit yang gelap dan sepi. Apa ini? Rasanya tak pernah Uchie membawaku pulang dengan rute ini. Ah, aku bingung! Ini pasti percobaan penipuan! (Dan mungkin juga percobaan kejahatan.)
Dari sisi kiri jendela bajaj, ku dengar rintik-rintik air. Hujan sudah reda, dan aku membulatkan tekad. Aku harus segera turun, sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Sopir bajaj ngotot berkata bahwa ini rute yang benar, dan tempat tujuan masih jauh. Tapi aku tetap memaksa, memaksa sekuat tenaga.
'Stop, stop! Turun! Saya turun di sini!'
Teriakanku membuat sopir bajaj menginjak rem. Secepat kilat aku turun, menyodorkan 5.000 rupiah kepada sopir bajaj. Sambil mengomel dengan logat jawaku yang kental. ku tendang bagian belakang bajaj. Lalu aku berlari ke arah sinar terang. Ada seorang satpam. Aku ingat alamat rumah Uchie, maka aku tanyakan arahnya kepada bapak satpam. Ia mengatakan, sudah dekat, tinggal jalan lurus saja. Ternyata benar! Aku hanya perlu berjalan kaki 5 menit, dan ku ketok pintu rumah yang sudah ku tinggali selama 3 hari. Ah lega!
Ketika
ku ceritakan kejadian itu kepada Uchie, dia pun terkaget-kaget. Dan saat ku
bagikan peristiwa itu kepada keluarga dan saudara-saudariku, mereka tertawa.
Yaa, aku berkisah dengan memberi tekanan pada bagian minta turun dan menendang
bajaj. Hidup memang penuh kejutan, tinggal bagaimana manusia bisa memaknainya.
Apakah ia melihat dari jendela yang jernih dan tegar? Ataukah ia melihat dari
jendela yang kusam dan retak? Jendela bajaj yang aku tumpangi memang tampak
kotor, namun aku memilih untuk membersihkannya.
Dua
minggu yang lalu aku melakukan perjalanan pulang dari Biak menuju Surabaya. Aku
duduk di bangku di samping jendela pesawat. Jendelanya cukup mengkilap. Kemilau
matahari menunjukkan kegagahannya di sela-sela putih dan biru yang cemerlang.
Gugusan awan yang seolah mencipta sebuah istana langit itu sungguh mempesona.
Rasanya tak ingin mengakhirnya. Terlalu ajaib bagiku.
Namun
aku tahu, aku harus pulang. Perjalanan pulang kali ini berbeda. Bukan karena
aku naik pesawat. Tapi karena apa yang akan aku temui di bandara nanti. Saat
pesawat mendarat, yang muncul adalah apakah sopir travel sudah menungguku di
gerbang kedatangan. Biasanya ku dengar riuhnya celoteh ratusan orang yang
menunggu datangnya seseorang yang sudah lama tidak mereka jumpai. Sejujurnya
aku pun punya secercah harapan, suatu hari akan ada pula satu atau dua sosok
itu untukku.
Penampilan
yang memukau dari istana langit seolah petunjuk akan adanya pangeran yang
menjemput sang putri. Dan itulah yang membuat perjalanan pulangku berbeda.
Pesawat mampu memeluk landasan bandara dengan mulus. Alat komunikasi sudah
boleh diaktifkan kembali. Ponselku berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk.
Semangatku membuncah kala membacanya.
'Kami tunggu di gerbang kedatangan. Pintu keluar belok ke kanan yaaa...'
Aku
bergegas menuju bagasi. Secepatnya aku raih tas koper berbobot 20 kg. Aku
berjalan tenang dan senang ke arah pintu kedatangan. Tanpa sadar berbelok ke
kiri. Beberapa menit aku menanti-nanti. Tak ada satu wajah pun yang ada di
ingatanku. Di manakah dia, orang yang tadi mengirim pesan singkat untukku? Aku
mulai khawatir. Mungkin mereka terlambat. Tidak apa, batinku.
Tiba-tiba
ponselku berdering lagi. Kali ini lebih lama daripada deringan pertama. Ah,
pertanda telepon masuk. Nama yang tertulis adalah dari dia yang tadi mengirim
pesan singkat. Ku raih ponsel berwarna kelabu sambil ku tengok kanan kiri.
Mataku mencari-cari dia yang aku kenal. Tidak ada! Aku memandang ke depan,
nihil. Ku putar badan ke belakang.
Akhirnya! Aku saksikan dari jarak 50 meter ada dua sosok yang gagah sedang tersenyum. Senyum yang begitu aku kenal. Itulah mereka! Tawa menghiasi raut mukaku yang sudah lelah. Mereka menghampiriku dengan langkah pasti. Penantian, harapan, kelelahan, dan kecemasan sudah terbayar lunas! Aku merasa layaknya seorang putri yang dijemput oleh sang pangeran. Bukan lagi seorang penumpang yang dijemput oleh sopir travel. Pengalaman pertama. Sebuah perjumpaan sederhana di gerbang kedatangan, namun bagai air segar. Inilah salah satu perjalanan pulangku yang berkesan.
Dari
sisi jendela, aku membuat keputusan untuk pulang. Jalan pulang selalu penuh
tantangan. Jalan pulang mengandung makna yang tersembunyi, yang mungkin baru
dipahami setelah sekian lama. Jalan pulang pasti memberi kekuatan, karena ia
adalah harapan yang tersimpan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar