Maria, nama yang indah.
Maria berambut putih, berkulit putih, dan berpakaian putih. Maria berjalan
tekun dan rajin. Tak hanya berjalan, tapi juga menuntun. Biasanya, seorang
remaja laki-laki bersamanya. Jojo, demikian Maria memanggilnya.
Sepanjang jalan Maria terus
bercerita tentang apa saja. Berbagi dengan Jojo adalah kesukaannya. Jojo
berusaha mendengar kata demi kata. Maria makin bersemangat saat Jojo
mengangguk. Raut muka Maria memerah bangga jika Jojo tersenyum.
Maria tetap teguh menyampaikan
ajaran, petuah, dan penghargaan, entah Jojo memedulikannya atau mengabaikannya.
Maria tak pernah bosan mengulang kalimat-kalimat yang mungkin tak pernah
didengar Jojo. Maria tak pernah mengeluh, walau Jojo tak memberi tanggapan.
Maria tidak punya waktu untuk mengutuk. Syukur, satu-satunya hal yang dapat
dilakukannya.
Maria melangkah dengan
pasti di kala terik matahari menyengat, menawarkan plastik-plastik berisi air
susu yang diyakininya bisa melegakan dahaga. Maria mengantarkan plastik-plastik
kepada pelanggan sehingga ia bisa mengantongi rupiah. Inilah pundi-pundi
kekayaan duniawi milik Maria yang dipersembahkan bukan untuk dirinya sendiri,
tapi terutama untuk Jojo.
Maria, meski renta, adalah
tulang punggung bagi Jojo. Maria, dalam kesibukan, selalu menemani Jojo belajar
di sebuah SLB. Maria, dengan sederhana, mendorong Jojo untuk berani
berinteraksi sosial, walau dengan susah payah berbicara. Maria bagaikan batu
sendi yang kokoh yang memampukan Jojo untuk hidup mandiri.
Kini Maria hanya bisa memandang
Jojo lewat mata hati, atau bertegur sapa melalui doa. Maria, pada masa
senjanya, harus merelakan Jojo yang belia kembali kepada Sang Pencipta. Maria
mencintai secara khusus karena dunia menganggap Jojo berkebutuhan khusus.
Inilah tangguhnya perjuangan nenek untuk
cucunya.
Sumber gambar: klik di sini
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Menulis 'Perempuan Tangguh' yang diadakan oleh Majalah Intisari. Link lomba dan cerita dapat diklik di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar